Senin, 30 Juli 2012

Cerpen - Menikahimu, Bukti atas 14 Tahun Silam


Menikahimu, Bukti atas 14 Tahun Silam 

“Suamiku, kenapa kau menangis? Padahal ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri, belum genap 24 jam kita melalui hari ini. Suamiku, apa yang menyebabkan kau menangis?”

Tanya Dewi kepada suaminya di tengah malam hari pertama pernikahannya. Tanggal 25 Desember 2011, tepatnya Jam 10 pagi tadi ia bersama seorang laki-laki yang sangat ia cintai melaksanakan suatu ibadah suci; Nikah.

Sebetulnya tadi Dewi sedang tidur lelap dan tidurnya sangat awal. Wajar saja, karena kegiatan resepsi pernikahannya menguras banyak tenaga, mental dan pikiran. Malam sebelum hari pernikahannya ia tidak bisa tidur. Rasa nervous terus memeluknya; Berkali-kali dia pergi ke toilet, serasa ia ingin terus buang air kecil.

Acara ini momentum yang sangat ia tunggu dan sakral baginya. Ia akan membina rumah tangga dengan seorang laki-laki idamannya. Yang ia mimpikan dalam setiap helaan nafas dan do’a-do’anya di sepertiga malam akhir.

“Seorang pria yang secara spiritual dan material sudah matang”, pikirnya.

Pria alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, menuntaskan program master di Belanda dan Doktoralnya di Australia. Seorang dosen muda di salah satu Universitas Negeri di Jakarta, dengan ide-ide original yang tertuang dalam tulisan-tulisannya. Sering sekali tulisannya mengisi surat kabar lokal dan nasional.

Bagi Dewi, menikah dengan pria yang sekarang menjadi suaminya merupakan sebuah anugerah besar dari Allah. Ia merasa bahwa Allah sudah memberikan bonus lebih atas do’a-do’anya. Secara fisik, suaminya mempunyai paras di atas rata-rata, tinggi 173 cm, badan atletis karena rajin olahraga, pendek kata guanteng habis.

Sebetulnya yang membuat ia tidak bisa tidur, bukan saja nervous namun rasa bahagia yang terluapkan dengan mengobrol sampai pagi bersama sahabat-sahabat karibnya. Tiga sahabat karibnya datang satu hari sebelum pernikahannya, sebagai rasa setiakawan dan ungkapan rasa kebahagiaan untuk temannya.

“Istriku, maafkan aku!”

“Kenapa kau malah minta maaf?”

Mengetahui respon suaminya yang baru 10 jam ini, Dewi bingung. Hatinya gelisah. Apa yang menyebabkan suaminya menangis, dan kenapa juga dia minta maaf.


***


Setelah sholat Isya berjama’ah, Faris menyuruh istrinya untuk tidur lebih awal. Karena ia tahu istrinya begitu lelah untuk acara pernikahan mereka. Istrinya sebetulnya menolak untuk tidur lebih awal. Ia ingin bersama suaminya dulu untuk menemani para tamu. Banyak tamu yang berkunjung baik tetangga dekat maupun tamu-tamu di luar daerah.

Karena suaminya memintanya dengan tulus dan ia pun memang merasakan keletihan yang sangat, ia akhirnya berpamitan kepada suaminya untuk tidur pergi ke kamar lebih dulu. Padahal, jam di tangannya baru menunjukan angka 20.35.

Faris baru bisa menyusul istrinya masuk ke kamar, setelah para tamu pulang sekitar pukul setengah dua belas. Setelah masuk kamar, ia lekas ganti pakaian tidur kemudian ia melihat istrinya yang sedang tidur lelap.

Diam mematung sejenak, dia perhatikan istrinya lama sekali. Ada satu bongkah rasa yang timbul di kedalaman hatinya. Dia pun tidak mengetahui rasa apa itu. Akhirnya, ia tersadar ketika ada rasa dingin yang menetes di bawah matanya; Satu butir air mata. Kemudian ia selimuti istrinya, dan mencium kening istrinya. Ia pun membaringkan badannya di samping istrinya.

Angin malam yang dingin, malam yang gelap nan sunyi seolah sudah menjadi teman sejatinya. Betapa tidak! Angin malam selalu menyelimutinya dari rasa dingin, malam gelap nan sunyi selalu membangunkannya dengan cerah dan candanya. Membuatnya rindu berteman dengan angin malam.

Pun dengan malam ini, matanya perlahan terbuka dan kesadarannya perlahan hadir. Setelah matanya benar-benar terbuka, dengan setengah kesadarannya, ia langsung mendekatkan pergelangan tangan kirinya ke depan matanya. Tampak jelas angka 02:09.

Ia mengumpulkan semua tenaganya ke seluruh tubuhnya untuk bangun. Namun ketika ia menengok ke sebelah kiri betapa terkejutnya dia, hampir saja ia teriak. Bangun tidur kali ini ia mendapati keadaan yang berbeda; Sangat berbeda dibanding bangun tidur sebelumnya selama ini. Ada sesosok tubuh yang terbaring lelap disana. Seraya ia bergumam, “Oh iya, aku kan sudah menikah 10 jam yang lalu”.

Duduk, terdiam dan ia lihat wajah istrinya terus dan menerus. Tersadar oleh dinginnya air mata, satu tetes, dua tetes sampai tetesan itu berubah menjadi aliran. Tangisan sunyi hampir tidak bisa ia tahan. Ia tidak mau membangunkan istrinya yang terlelap karena letih. Ia putuskan untuk mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajjud dua raka’at.

Setelah salam ia mengangkatkan dua tangannya, “Ya Allah, terimakasih banyak atas semua nikmat-Mu, Ya Allah, terimakasih atas nikmat-Mu, Ya Allah, terimakasih..” hanya itu yang keluar dari mulutnya, seolah ia tidak bisa mengungkapkan kata-kata yang lain.

Ingatannya lari kepada istrinya. Setiap kali ia ucapkan terimakasih, semakin kuat ingatannya kepada istrinya. Semakin kuat ingatan pada istrinya, semakin kuat air matanya memaksa untuk keluar. Tangisannya terhenti karena kaget mendengar sebuah pertanyaan yang sangat ia kenal.

“Suamiku, kenapa kau menangis? Padahal ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri, belum genap 24 jam kita melalui hari ini. Suamiku, apa yang menyebabkan kau menangis?”

“Istriku, maafkan aku!”

“Kenapa kau minta maaf?”

Faris tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya itu. Ia malah terdiam, berusaha menahan air mata yang akan keluar lagi. Air mata Faris dalam satu malam ini sudah keluar tiga kali setiap kali melihat istrinya. Dia sama sekali tidak menyadarinya, bahwa setiap melihat istrinya dia teringat masa 14 tahun silamnya. Ketika ingatannya kembali pada masa itu, maka air matanya keluar.


***


***08 Desember 1997 ***

“Ris, ada salam dari si Nur”

“Wa’alaikumussalam” Faris menjawab, sambil ia melanjutkan jalannya setelah menoleh ke Mutmainnah.

“Faris, mau kemana kamu? Kamu itu sok JAIM, sok muna (munafiq)!”

“JAIM mungkin iya, tapi muna, apa alasan kamu bilang saya muna? Saya tidak bohong, tidak ingkar janji, tidak juga berkhianat.”

“Kamu itu dapat salam dari si Nur, jawaban kamu seadanya saja. Si Nur itu cantik,  pinter dan sholehah lagi. Aku yakin kamu juga suka kan sama dia?”

“Innah..!”

Panggilan mutmainnah, kemudian Faris melanjutkan kata-katanya, “Suka, benci, yakin, takut, marah dan yang semacam itu adalah emosi, dan semua itu urusan hati. Semua itu hak asasi seseorang selama tidak merugikan orang lain. Tidak ada hubungannya dengan muna atau tidak.”

“Ya kalau memang kamu suka sama Nur, kamu ungkapkan dong, bilang sama dia. Aku yakin kalau kalian jadian kalian akan jadi pasangan serasi deh di sekolah ini.”

“Maksud kamu, suami istri?”

“Faris, Faris, kamu itu bego apa idiot sih? Ya bukan suami istri lah... pasangan pacaran maksudnya.”

“Hahaha” mendengar jawaban mutmainnah Faris hanya bisa tertawa.

“Kamu tertawa kenapa, ris? Emang ada yang lucu?”

“Iya… saya yakin, dia tidak akan mau semacam itu karena dia pinter”

“Maksud kamu?”

“Kamu kan tahu sendiri, udah ya aku mau cepet masuk kelas ni,” Faris meninggalkan Mutmainnah tanpa menunggu respon.

Mutmainnah yang mendengar jawaban Faris dan langsung meninggalkannya, hatinya mangkel dan jengkel.


***Satu minggu setelah tanggal 8 desember 1997***


“Aku cari-cari kamu, ternyata kamu ngumpet di perpus.”

“Memangnya aku ini teroris? Sampai harus ngumpet-ngumpet, terus ngapaian kamu cari-cari aku?”

“Aku ngerti sekarang maksud kamu kenapa Nur tidak akan mau pacaran?”

“Emang apa?"

“Katanya, dia gak mau pacaran sampai saat ia mau menikah, pacaran hanya akan membuang waktu, tenaga, pikiran bahkan materi menjadi sia-sia, bahkan pacaran hanya akan membawa kemaksiatan-kemaksiatan saja”

“Oh.. begitu, kamu sekarang faham?”

“Faham, tapi aku gak setuju, soalnya pacaran di pesantren kita kan tidak macam pacaran anak-anak yang lain, yang jalan berdua sambil pegangan tangan, pulang larut malam, kissing bahkan lebih dari itu. Kita hanya surat-suratan bahkan untuk ngobrol saja di pesantren ini sulit. Apanya yang membuat maksiat?,

“Ya kalau memang pacarannya hanya untuk mencoba mengenal calon pasangan hidup dengan tanpa menyalahi aturan syara’ gak apa-apa?"

“Maksud kamu ta’aruf?”

“Ta’aruf itu bahasa Arab, bukan bahasa agama. Jadi, ketika seseorang ingin mengenal calonnya apakah cocok atau tidak dan semuanya itu berada pada koridor syara’ maka itu boleh-boleh saja.”
“Tapi katanya secara psikologis kalau punya perasaan tidak diungkapkan akan menjadi tekanan mental lho, mungkin menjadi penyakit.”

“Seandainya demikian, demi menjaga agama semoga itu bernilai ibadah.”

“Terus bagaimana kalau nanti kamu menikah dengan orang yang berbanding terbalik dalam dengan kamu dalam hal ini?” Tanya mutma’innah, ingin mengetahui sejauh mana prinsip yang dimiliki Faris dan apa yang menyebabkan Faris mempunyai prinsip demikian.

Ditanya demikian Faris diam, tidak langsung menjawab. Sampai-sampai Mutmainnah penasaran dan mengulang pertanyaannya.

“Bagaimana, ris?”

“Innah, kamu ingat apa yang diajarkan Ustadzah Elis kemarin?”



“Suamiku…”

Ingatan akan 14 tahun silam terhenti oleh sebuah panggilan.


***


“Kenapa kau minta maaf? Jangan-jangan engkau...?”

Dewi tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tenggorokannya tersedat oleh ketakutan yang bergejolak dalam pikirannya. Ia langsung bertanya ulang karena suaminya malah tambah menangis ketika mendengar pertanyaannya itu. Semakin takut. Takut bahwa tangisan suaminya sesuai dengan pikirannya. Takut bahwa suaminya menyesal karena sudah menikah dengannya 14 jam yang lalu.

“Wahai suamiku, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku sudah melakukan kesalahan kepadamu?”

“Tidak sayang, kamu tidak salah apa pun.”

“Tapi kenapa kau menangis? Apakah menyesal karena menikah denganku?”

“Kenapa kau bertanya demikian?”

“Kenapa kau menangis di malam selarut ini?”

“Istriku sayang, kau perlu tahu, malam ini aku sudah menangis tiga kali, dan itu terjadi setiap aku melihat wajahmu yang sedang tidur.”

Mendengar jawaban suaminya Dewi menjadi bingung, ada apa dengan wajahnya. Bahkan ia berpikir bahwa jangan-jangan suaminya sebetulnya akhirnya menyadari bahwa ia salah menikahi dirinya.

“Suamiku, aku akan menerima apapun yang engkau putuskan seandainya engkau merasa bahwa dalam pernikahan kita ini engkau merasa tertipu. Namun aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau merasa tertipu?”

“Istriku sayang, air mataku bukan air kesedihan, bukan pula kekecewaan, melainkan air mata malu dan takut. Aku malu dan takut tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Selain malu dan takut ini pun, juga air mata bahagia. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena Ia telah menjawab do’aku yang aku minta semenjak 14 tahun silam, dan engkau adalah buktinya.”

Mendengar jawaban Faris, kekhawatiran Dewi berubah seketika menjadi sebuah kebahagiaan. Namun tetap saja membingungkan. 14 tahun lalu Faris dan Dewi belum saling kenal.

“Suamiku, aku akan berusaha menjadi istrimu yang menemani dan membantumu agar kapal yang kita arungi berada pada jalur yang benar, namun ada apa dengan 14 tahun silam?”

“Istriku sayang, engkau untukku adalah bukti 14 abad silam.”

“Suamiku, ada apa dengan 14 abad silam?” Dewi tambah tidak mengerti, belum juga dijawab tentang 14 tahun silam sekarang Faris mengatakan 14 abad silam.

Keningnya mengerut, pikirannya mencoba menerka. Penasarannya bertambah, namun sebelum mulutnya terbuka untuk bertanya lagi dia dikejutkan dengan sebuah pertanyaan.

“Istriku, takukah kamu surat An-Nur ayat 26?”
By :  Miftahul Falah
Diambil Dari Republika On Line

Keberagaman Budaya Lokal - BSE Antropologi Supriyanto


Keberagaman Budaya Lokal

Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :

a.      Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana,dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak dibiasakan, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie. Contoh budaya lokal berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana ini terdapat pada kebudayaan Mentawai dan penduduk Pantai Utara Papua.

b.      Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan yang merasa bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu, mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintahan kolonial beserta zending dan missie, atau oleh pemerintah Republik Indonesia yang merdeka, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah, Minahasa, Flores dan Ambon.

c.      Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasarkemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh system pemerintahan kolonial. Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini. Contoh budaya lokal berdasar-kan tipe masyarakat bercocok tanam dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali.

d.  Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsiprovinsi di Indonesia.

e.      Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sector perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.

Sangat sukar untuk menentukan secara pasti jumlah suku bangsa Indonesia. Kesulitan itu bersumber dari tolak ukur yang digunakan dalam menentukan suku bangsa. Banyak tolak ukur yang dapat digunakan dan penggunaan masing-masing tolak ukur akan menghasilkan jumlah suku bangsa Indonesia yang berbeda-beda. Zulyani Hidayah dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia (1999) mengidentifikasi setidaknya ada 656 suku bangsa Indonesia. Sedangkan menurut MA Jaspen yang dikutip oleh Suriakusumah, dkk (1999:7.19) dengan menggunakan tolak ukur bahasa daerah, kebudayaan serta susunan masyarakat menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 364 suku bangsa, dengan perincian sebagai berikut:
1. Sumatra : 47 suku bangsa
2. Jawa : 7 suku bangsa
3. Kalimantan : 73 suku bangsa
4. Sulawesi : 116 suku bangsa
5. Nusa Tenggara : 31 suku bangsa
6. Maluku Ambon : 41 suku bangsa
7. Irian Jaya (Papua) : 49 suku bangsa
Setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik dan khas. Sekarang dapat kalian bayangkan betapa beraneka ragamnya budaya bangsa Indonesia.
Berikut ini disarikan kehidupan beberapa suku bangsa Indonesia yangmenggambarkan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan, dikutip dari buku Zulyani Hidayah (1999).
a. Suku bangsa Aceh
Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembauran beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu dari Arab, India, Persia, Turki, Melayu, Minangkabau, Nias, Jawa, dan lain-lain. Asimilasi suku bangsa Aceh dengan suku bangsa lain melahirkan suku bangsa baru, yaitu suku bangsa Aneuk Jame dan Singkil. Daerah yang didiami suku bangsa Aceh biasa disebut dengan Serambi Mekah karena
Aceh adalah pintu gerbang pertama masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12 – 14 Masehi. Lebar (1964) membagi suku bangsa Aceh menjadi orang Aceh pegunungan (ureung gunong) dan orang Aceh daratan (ureung baroh).
Masyarakat Aceh sebagian besar hidup dari mata pencaharian bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Sebagian ada pula yang berkebun kelapa, cengkeh, kopi, lada, kelapa sawit, dan lain-lain. Mereka yang bermukim di pesisir pantai atau sungai pada umumnya bekerja sebagai nelayan.
Bahasa Aceh termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Pidie, Meulaboh, Matang, Aceh Besar dan Tunong. Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal. Kerabatan dari pihak ayah disebut wali atau biek, sedangkan kerabat dari ibu disebut karong atau koy.
Bentuk pemukiman yang menjadi dasar kesatuan hidup komunalnya disebut gampong (kampung atau desa) yang umumnya terletak di pesisir dan dekat aliran sungai, selebihnya tersebar di daerah perbukitan, lembah, dan pinggir hutan. Di setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) atau dayah (pesantren) dan meusegit (masjid).
Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun begitu, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktik kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya Aceh sendiri. Seni kaligrafi Arab juga banyak berkembang di daerah ini, seperti terlihat pada berbagai ukiran dan pada relief masjid, rumah dan surau mereka. Seni tari yang terkenal dari Aceh adalah seudati, seudati inong dan seudati tunang.
b. Suku bangsa Baduy


Orang Baduy dianggap juga sebagai bagian dari suku bangsa Sunda karena sebagian besar unsur budaya dan bahasanya sama dengan kebudayaan Sunda. Masyarakat Baduy terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Baduy Dalam yang disebut juga Urang Kejeroan dan kelompok Baduy Luar yang disebut juga Urang Kaluaran atau Urang Panamping. Bahasa yang digunakan orang Baduy adalah bahasa Sunda dialek Rangkas, yang dianggap sebagai bahasa Sunda Kasar, karena tidak memakai undak-usuk bahasa (gaya bahasa untuk membedakan golongan lawan bicara), tetapi ada tekanan dalam pengucapan untuk membedakan arti. Orang Baduy sangat mematuhi larangan memakai kata-kata buyut (tabu).
Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang, tebang dan bakar hutan untuk menanam padi. Perladangan ini mereka sebut pahumaan (bertanam padi di huma atau ladang). Kesatuan kerja pengolah huma adalah keluarga inti. Mata pencaharian mereka selain berladang adalah mencari kayu dan hasil hutan.
Prinsip hubungan kekerabatan orang Baduy adalah bilateral, meskipun bentuk garis keturunan patrilineal kadang-kadang lebih dominan, ini nampak pada pemakaian nama ayah di belakang nama seseorang. Keluarga inti tinggal di rumah sendiri, tetapi pada awal masa perkawinan mereka masih tinggal di rumah orang tua pengantin perempuan. Perkawinan ideal pada masyarakat Baduy adalah perkawinan antarsaudara sepupu, tetapi pengantin laki-laki syaratnya harus anak saudara lelaki tertua (kakak), syarat ini disebut ngorakeun kolot.
Pemimpin masyarakat Baduy secara adat dan spiritual adalah seorang pu’un yang berkedudukan di wilayah kajeroan yang sering pula disebut tangtu atau Baduy Dalam. Orang Baduy nampaknya juga mempunyai pelapisan sosial. Pertama adalah kelompok pu’un dan kerabatnya. Kedua kelompok pembantu pu’un seperti baeresan, tangkesan, jaro tangtu, jaro dangka dan palawari. Ketiga kelompok pemimpin formal seperti lurah dan para pembantunya, jaro pareman (bekas kepala kampung) dan dukun kemudian orang Baduy Panamping dan yang terakhir orang Baduy Dangka.
Orang Baduy menganut agama yang mereka sebut dengan Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan yang mengakui agama Islam, tetapi tidak menjalankan ajarannya sebaliknya, tetap menjalankan kepercayaan dan memegang teguh adat istiadat aslinya. Mereka memuja Batara Tujuh dan roh kakek moyang yang mereka sebut Karuhun atau Wangatua atau para Munggu. Selain itu, juga memuja dewi padi (Pohaci Sanghyang Asri).
c . Suku bangsa Sikka
Suku bangsa Sikka berdiam di daerah antara Lio dan Larantuka, Kabupaten Sikka, daratan Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Sikka kemungkinan berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri. Mereka menyebut dirinya dengan Ata Sikka (Orang Sikka).
Bahasa mereka sangat dekat dengan bahasa penduduk di Pulau Solor, yaitu samasama kelas bahasa Ambon-Timor dari kelompok bahasa Papuan.
Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat tergantung kepada perladangan dengan tanaman pokok padi dan jagung, ditambah dengan singkong, sorgum dan ubi jalar manis. Sebagian kecil juga beternak sapi, kambing, kuda, itik, dan ayam. Penduduk yang tinggal dekat pantai bisa pula menangkap ikan, tetapi mereka bukan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Pola perkampungan tradisional mereka memanfaatkan daerah perbukitan dan lembah yang strategis untuk keamanan, kampong tradisional tersebut memusat pada sebuah batu altar persembahan yang disebut mahe. Dalam kampung terdapat sebuah rumah adat yang disebut woga, yaitu semacam rumah bujang tempat upacara-upacara adat dan keagamaan, seperti tradisi bersunat. Sekarang sebagian sudah membuat pemukiman dengan pola mengikuti alur jalan raya dan ditandai oleh sebuah bangunan gereja sebagai pusat keagamaan warga.
Masyarakat Sikka Barat cenderung menganut hubungan patrilineal, sedangkan orang Sikka Timur lebih fleksibel dengan kekerabatan ambilinealnya, di mana anak-anak mengikuti garis keturunan dari kelompok keluarga luas ke mana orang tua mereka menetap. Orang Sikka sangat mengutamakan keluarga luas. Orang Sikka Barat menyebutnya dengan nama ku’at atau ku’at wungung, dan orang Sikka Timur menamainya dengan suku.
Agama Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat Sikka sejak zaman raja-raja Sikka dulu, sehingga kehidupan seremonial sudah sejak lama pula diwarnai oleh ritus Katolik. Religi tradisional orang Sikka adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa utama adalah pasangan Lero Wulang dan Niang Tana, yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama yang mengharuskan setiap remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak Ritus Katolik mereka terima sepenuhnya.

Sumber :  Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XI / penulis, Supriyanto ; editor, Rudi Hermawan ; ilustrator,Adi Wahyono. — Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.