Keberagaman Budaya Lokal
Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut
Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :
a.
Tipe masyarakat
berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana,dengan keladi dan ubi jalar
sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman
padi tidak dibiasakan, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa
diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan
menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak
dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie. Contoh budaya lokal
berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana ini terdapat pada kebudayaan
Mentawai dan penduduk Pantai Utara Papua.
b.
Tipe masyarakat pedesaan
berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman
pokok. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi
dan stratifikasi sosial yang sedang dan yang merasa bagian bawah dari suatu kebudayaan
yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab
di dalam masyarakat kota. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu,
mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintahan
kolonial beserta zending dan missie, atau oleh pemerintah Republik
Indonesia yang merdeka, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam
tidak dialami. Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat pedesaan bercocok
tanam terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah,
Minahasa, Flores dan Ambon.
c.
Tipe masyarakat pedesaan
berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman
pokoknya. Sistem dasarkemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan
diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang
menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur
dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh system pemerintahan kolonial.
Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami,
gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini. Contoh
budaya lokal berdasar-kan tipe masyarakat bercocok tanam dengan diferensiasi
dan stratifikasi sosial yang agak kompleks terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa,
dan Bali.
d. Tipe masyarakat perkotaan
yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan
industri yang lemah. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan
terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsiprovinsi di Indonesia.
e.
Tipe masyarakat
metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sector perdagangan dan industri
yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan
pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan
politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh budaya lokal dengan tipe
masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.
Sangat sukar untuk menentukan secara pasti
jumlah suku bangsa Indonesia. Kesulitan itu bersumber dari tolak ukur yang
digunakan dalam menentukan suku bangsa. Banyak tolak ukur yang dapat digunakan
dan penggunaan masing-masing tolak ukur akan menghasilkan jumlah suku bangsa
Indonesia yang berbeda-beda. Zulyani Hidayah dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa
Indonesia (1999) mengidentifikasi setidaknya ada 656 suku bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut MA Jaspen yang dikutip oleh Suriakusumah, dkk (1999:7.19)
dengan menggunakan tolak ukur bahasa daerah, kebudayaan serta susunan
masyarakat menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 364 suku bangsa, dengan
perincian sebagai berikut:
1. Sumatra : 47 suku bangsa
2. Jawa : 7 suku bangsa
3. Kalimantan : 73 suku bangsa
4. Sulawesi : 116 suku bangsa
5. Nusa Tenggara : 31 suku bangsa
6. Maluku Ambon : 41 suku bangsa
7. Irian Jaya (Papua) : 49 suku bangsa
Setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik
dan khas. Sekarang dapat kalian bayangkan betapa beraneka ragamnya budaya
bangsa Indonesia.
Berikut ini disarikan kehidupan beberapa suku bangsa
Indonesia yangmenggambarkan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan, dikutip
dari buku Zulyani Hidayah (1999).
a. Suku bangsa Aceh
Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembauran
beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu
dari Arab, India, Persia, Turki, Melayu, Minangkabau, Nias, Jawa, dan
lain-lain. Asimilasi suku bangsa Aceh dengan suku bangsa lain melahirkan suku bangsa
baru, yaitu suku bangsa Aneuk Jame dan Singkil. Daerah yang didiami suku bangsa
Aceh biasa disebut dengan Serambi Mekah karena
Aceh adalah pintu gerbang pertama masuknya
agama Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12 – 14 Masehi. Lebar (1964)
membagi suku bangsa Aceh menjadi orang Aceh pegunungan (ureung gunong) dan orang Aceh daratan (ureung baroh).
Masyarakat Aceh sebagian besar hidup dari mata
pencaharian bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Sebagian ada pula yang berkebun
kelapa, cengkeh, kopi, lada, kelapa sawit, dan lain-lain. Mereka yang bermukim
di pesisir pantai atau sungai pada umumnya bekerja sebagai nelayan.
Bahasa Aceh termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia.
Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Pidie, Meulaboh,
Matang, Aceh Besar dan Tunong. Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam
masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah
bilineal. Kerabatan dari pihak ayah disebut wali atau biek, sedangkan kerabat dari ibu disebut karong atau koy.
Bentuk pemukiman yang menjadi dasar kesatuan
hidup komunalnya disebut gampong (kampung
atau desa) yang umumnya terletak di pesisir dan dekat aliran sungai, selebihnya
tersebar di daerah perbukitan, lembah, dan pinggir hutan. Di setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah)
atau dayah (pesantren) dan meusegit (masjid).
Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang
taat. Meskipun begitu, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktik
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya
Aceh sendiri. Seni kaligrafi Arab juga banyak berkembang di daerah ini, seperti
terlihat pada berbagai ukiran dan pada relief masjid, rumah dan surau mereka.
Seni tari yang terkenal dari Aceh adalah seudati, seudati inong dan seudati
tunang.
b. Suku bangsa Baduy
Orang Baduy dianggap juga sebagai bagian dari
suku bangsa Sunda karena sebagian besar unsur budaya dan bahasanya sama dengan kebudayaan
Sunda. Masyarakat Baduy terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Baduy
Dalam yang disebut juga Urang Kejeroan dan kelompok Baduy Luar yang disebut juga Urang Kaluaran atau Urang Panamping. Bahasa yang digunakan orang Baduy adalah
bahasa Sunda dialek Rangkas, yang dianggap sebagai bahasa Sunda Kasar, karena
tidak memakai undak-usuk bahasa (gaya bahasa untuk membedakan golongan lawan
bicara), tetapi ada tekanan dalam pengucapan untuk membedakan arti. Orang Baduy
sangat mematuhi larangan memakai kata-kata buyut (tabu).
Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah
berladang, tebang dan bakar hutan untuk menanam padi. Perladangan ini mereka
sebut pahumaan (bertanam padi di huma atau ladang). Kesatuan kerja pengolah huma
adalah keluarga inti. Mata pencaharian mereka selain berladang adalah mencari
kayu dan hasil hutan.
Prinsip hubungan kekerabatan orang Baduy adalah
bilateral, meskipun bentuk garis keturunan patrilineal kadang-kadang lebih dominan,
ini nampak pada pemakaian nama ayah di belakang nama seseorang. Keluarga inti
tinggal di rumah sendiri, tetapi pada awal masa perkawinan mereka masih tinggal
di rumah orang tua pengantin perempuan. Perkawinan ideal pada masyarakat Baduy
adalah perkawinan antarsaudara sepupu, tetapi pengantin laki-laki syaratnya
harus anak saudara lelaki tertua (kakak), syarat ini disebut ngorakeun kolot.
Pemimpin masyarakat Baduy secara adat dan
spiritual adalah seorang pu’un yang berkedudukan di
wilayah kajeroan yang sering pula disebut tangtu atau Baduy Dalam. Orang Baduy nampaknya juga
mempunyai pelapisan sosial. Pertama adalah
kelompok pu’un dan kerabatnya. Kedua kelompok pembantu pu’un seperti baeresan, tangkesan,
jaro tangtu, jaro dangka dan palawari.
Ketiga kelompok pemimpin formal seperti lurah dan para
pembantunya, jaro pareman (bekas kepala kampung) dan dukun kemudian orang Baduy
Panamping dan yang terakhir orang Baduy Dangka.
Orang Baduy menganut agama yang mereka sebut
dengan Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan yang mengakui agama Islam, tetapi tidak
menjalankan ajarannya sebaliknya, tetap menjalankan kepercayaan dan memegang
teguh adat istiadat aslinya. Mereka memuja Batara Tujuh dan roh kakek moyang
yang mereka sebut Karuhun atau Wangatua atau para Munggu. Selain itu, juga
memuja dewi padi (Pohaci Sanghyang Asri).
c . Suku bangsa Sikka
Suku bangsa Sikka berdiam di daerah antara Lio
dan Larantuka, Kabupaten Sikka, daratan Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Nama Sikka kemungkinan berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri.
Mereka menyebut dirinya dengan Ata Sikka (Orang Sikka).
Bahasa mereka sangat dekat dengan bahasa
penduduk di Pulau Solor, yaitu samasama kelas bahasa Ambon-Timor dari kelompok
bahasa Papuan.
Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat tergantung
kepada perladangan dengan tanaman pokok padi dan jagung, ditambah dengan singkong,
sorgum dan ubi jalar manis. Sebagian kecil juga beternak sapi, kambing, kuda,
itik, dan ayam. Penduduk yang tinggal dekat pantai bisa pula menangkap ikan,
tetapi mereka bukan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil
laut.
Pola perkampungan tradisional mereka
memanfaatkan daerah perbukitan dan lembah yang strategis untuk keamanan, kampong
tradisional tersebut memusat pada sebuah batu altar persembahan yang disebut mahe. Dalam kampung terdapat sebuah rumah adat yang
disebut woga, yaitu semacam rumah bujang tempat
upacara-upacara adat dan keagamaan, seperti tradisi bersunat. Sekarang sebagian
sudah membuat pemukiman dengan pola mengikuti alur jalan raya dan ditandai oleh
sebuah bangunan gereja sebagai pusat keagamaan warga.
Masyarakat Sikka Barat cenderung menganut
hubungan patrilineal, sedangkan orang Sikka Timur lebih fleksibel dengan
kekerabatan ambilinealnya, di mana anak-anak mengikuti garis keturunan dari kelompok
keluarga luas ke mana orang tua mereka menetap. Orang Sikka sangat mengutamakan
keluarga luas. Orang Sikka Barat menyebutnya dengan nama ku’at atau ku’at wungung, dan orang Sikka Timur menamainya dengan suku.
Agama Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat
Sikka sejak zaman raja-raja Sikka dulu, sehingga kehidupan seremonial sudah
sejak lama pula diwarnai oleh ritus Katolik. Religi tradisional orang Sikka
adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa utama adalah pasangan Lero Wulang dan
Niang Tana, yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama
yang mengharuskan setiap remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak Ritus
Katolik mereka terima sepenuhnya.
Sumber :
Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan
MA Program Bahasa Kelas XI / penulis, Supriyanto ; editor, Rudi Hermawan ;
ilustrator,Adi Wahyono. — Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar