My Lovely Bunda (Bagian ke-1)
Café Bunda sudah mulai sepi, setelah tadi
dipadati oleh pengunjung yang antusias ingin melihat artis idola mereka dalam
jarak dekat. Hanya tinggal beberapa orang saja, dan sang idola yang sejak pagi
berdiri di meja kasir saat ini digantikan oleh kasir yang sesungguhnya agar ia
dapat beristirahat. Seorang wanita paruh baya menghampiri sang idola yang
merupakan salah seorang member boyband papan atas Indonesia yang biasa dikenal,
Garuda Boys. Wanita paruh baya tersebut menyodorkan segelas minuman dingin ke
sang idola yang ternyata adalah lead vocal di Garuda Boys.
‘Terima
kasih, Bunda,’
ujar ayahnya Blacket, nama kura-kura piaraan sang idola- itu sambil meraih
minuman yang disodorkan sang ibu dan mengusap bahunya yang mulai pegal dengan
tangannya yang lain.
‘Aduuh!!
Putra Bunda sudah bekerja sangat keras hari ini. Sini! Bunda pijiti,’ ujar Bunda sembari mengulurkan tangannya dan mulai
memijiti bahu mungil, namun keren putranya itu.
‘Tidak
usah Bunda, Bunda juga pasti lelah, harusnya aku yang pijiti Bunda. Nanti, apa
kata fansku, jika melihat aku yang bukannya memijiti bundanya yang kelelahan,
malah dipijiti Bunda,’
elak pemilik mata mungil yang indahnya dapat melelehkan hati remaja-remaja
putri Indonesia itu.
‘Ah!
Biarkan saja orang mau berkata apa, tidak ada salahnya seorang ibu memijiti
anak lelakinya, ayo sini!’
Pemuda yang dijuluki si lelaki aneh di Garuda Boys itu hanya pasrah membiarkan
ibunya yang bersikeras memijiti dirinya.
‘Alif
sayang?’ ujar Bunda pelan
sambil memijiti bahu Alif. Alif sudah mulai was-was mendengar sang bunda
menyebut namanya dengan nada seperti ini. Perasaannya mulai tak enak…
‘Ya,
Bunda?’ jawab Alif pasrah
sekaligus bersiap siaga menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
‘Alif
putraku sayang, lusa kau juga ada jadwal ke sini ‘kan?’
‘Ya.
Kenapa, Bunda?’
ujarnya pura-pura tidak tahu akan diarahkan ke mana pembicaraan ini.
‘Lusa,
tidak usah ke sini, kau temani Bunda saja ya?’ ujar Bunda lagi dengan nada yang semakin membuat Alif
semakin merinding dan sekarang semakin menumpuklah perasaan was was di dalam
hatinya.
‘Ke
mana, Bunda?’
‘Hmmm,
bertemu calon mantu Bunda,’ ujar Bunda riang mengabaikan perasaan anaknya yang
sedang ketar ketir.
Tuh kan? Apa kubilang? Huweee, Tuhan… kasihani hambaMu ini, Blacket tolong aku… jerit Alif dalam hatinya. Bunda adalah wanita yang
paling ia hormati dan cintai di dunia ini, tapi kalau Bunda begini, sepertinya
bunda tak asik lagi. Alif bersungut di dalam hati. Akhir-akhir ini Bundanya
selalu saja begini, menyebut-nyebut hal-hal yang berbau pernikahan dalam tempo
dan dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya kali dua puluh empat jam. Eh,
maksudnya, enam puluh menit dalam satu jam, dua puluh empat jam dalam sehari,
tujuh hari dalam seminggu, dua belas bulan dalam setahun, tema pernikahan itu
tak bergeser dari deretan daftar pembicaran paling hits sepanjang sejarah hidup
Bunda akhir-akhir ini.
‘Bundaaaa,’ rajuk Alif, memasang wajah paling teramat sangat
menyedihkannya. Tapi, entah kenapa semakin terlihat imut dan lucu di mata GFF,
Garuda’s Forever Friend,
-sebutan untuk fans Garuda Boys- terutama Alifers, nama untuk fans Alif
seorang.
‘Ah…Why?’ bunda sok nginggris, juga tak mau kalah dalam
memasang wajah paling memelas yang pernah ia miliki selama ia bernafas di dunia
ini.
‘Bunda,
suatu saat aku pasti akan menikah, tapi tidak sekarang, ya? Aku masih ingin
mewujudkan impian-impianku, Bunda,’ lagi-lagi Alif merajuk dengan lembut.
‘Impian
yang mana lagi, sayang? Bukankah sekarang, impianmu itu sudah terwujud?
Bukankah sekarang kau sudah menjadi penyanyi paling terkenal di dunia?’ Bunda tak mau kalah dengan anaknya ini dalam beradu ‘pasang tampang paling memelas dan setel suara paling
merajuk’-nya. Bunda sekarang
duduk di depan Alif yang sedang malas-malasan mengunyah santap siangnya. Selera
makan Alif mendadak jadi buruk, meski ia lapar bukan main.
‘Belum
bunda, belum seterwujud itu. Konser di Eropa baru satu kali, dan baru satu
tempat di Perancis. Di Sidney bahkan di batalkan. Konser di Korea juga baru
sekali. Impianku adalah menjadi member boyband yang melegenda di dunia, Bunda,’ ujar Alif lembut dengan ekspresi datar ples mata
kecilnya yang menerawang ke masa depan. Masa depan yang entah berpuluh-puluh
tahun jaraknya dari sekarang di saat dirinya dan ke-sembilan member Garuda Boys
lainnya yang beruban dan mulai keriput, berkumpul bersama dalam satu panggung
sambil menggenggam piala penghargaan musik paling bergengsi di seluruh dunia di
tangan mereka masing-masing, penghargaan yang keratusan kalinya. Mereka silih
berganti mengucapkan terimakasih sambil berlinang air mata untuk Tuhan Yang
Maha Esa, untuk orang-orang terkasih termasuk GFF yang telah membesarkan nama
mereka hingga menjadi boyband besar Indonesia yang melegenda di dunia. Pokoknya
Jacko si King of Pop lewat deh.
Plak!!! Sebuah jitakan sukses
membuat Alif kembali menjejak bumi.
‘Adaw!’ Bunda mendadak kesal melihat anak bujang pertamanya
ini semakin jauh mengawur.
‘Bunda,’ Alif kembali merajuk sambil mengusap-usap kepala
besarnya yang terasa perih terkena jitakan lembut sang bunda tercinta, mata
mungil nan indah itu kembali fokus menatap bundanya. Tapi, Bunda buru-buru
merubah ekspresi kesalnya yang tadi sempat menguap menjadi lebut kembali
layaknya seorang ibu. Bunda meraih tangan putra paling kerennya itu, dan
menggenggamnya dengan lembut.
‘Alif
putraku sayang, kau tahu ‘kan
Bunda ini sudah tua. Bunda sangat berharap sekali melihat kau menikah dan punya
anak sebelum akhirnya Bunda mati. Tidakkah kau ingin membahagiakan Bunda
sebelum Bunda mati? Bagaimana kalau Bunda mati sebelum kau selesai mewujudkan
semua impianmu itu? Kau mau saat semua impianmu tercapai, lalu memutuskan ingin
menikah Bunda sudah tidak ada lagi di sisimu?’
Mendengar perkataan terakhir
sang Bunda, Alif sontak menghentikan kegiatan makannya, sendok yang tadi berada
di tangannya terlepas dan tangan itu sekarang terentang membelah jarak antara
dirinya dan bunda tercinta, jari telunjuk yang mungil itu teracung dan mendarat
di bibir mungil bunda. Alif menatap tajam bundanya. Bunda malah kaget, mematung
dan terheran-heran dengan tingkah bocahnya yang tak lagi bocah ini
By : Rumiati at
www.dakwatuna.com